Budaya Peringatan malam Nisfu Sya’ban
6/23/2013
Peringatan malam Nisfu Sya’ban dan mengkhususkan puasa pada hari tersebut, hingga saat ini masih membudaya di sebagian kaum muslimin. Padahal tidak ada satu pun dalil shahih yang dapat dijadikan sandaran. Berikut ini adalah penjelasan dari Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullaah berkenaan dengan peringatan tersebut, semoga bermanfaat.
Memang ada beberapa riwayat tentang
malam Nisfu Sya’ban berasal dari sebagian salaf ahli Syam dan lainnya. Namun pendapat yang dianut jumhur (mayoritas) ulama’ bahwa peringatan malam Nisfu Sya’ban adalah bid’ah dan hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaannya semuanya dha’if, dan sebagian lagi maudhu’.
Di antara ulama yang memperi-ngatkan hal tersebut yaitu Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam kitab Latha’iful Ma’arif dan ulama’ lainnya.
Hadits-hadits dha’if (lemah)hanya bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh dalil yang shahih. Adapun peringatan malam Nisfu Sya’ban tidak ada hadits shahih yang mendasari hadits-hadits yang dha’if, itu agar dapat dijadikan sebagai pendukungnya.
Kaidah agung ini telah disebutkan oleh Imam Abul Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullaah .
Berikut ini akan kami sampaikan kepada para pembaca pendapat para ahli ilmu dalam hal ini, sehingga masa-lahnya menjadi jelas. Para ulama, telah sepakat bahwa wajib mengembalikan segala masalah yang diperselisihkan manusia kepada Kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam. Ibadah apa pun yang tidak disebutkan oleh keduanya adalah bid’ah, tidak boleh dikerjakan, apalagi mengajak un-tuk mengerjakannya atau memujinya.
Firman Allah Subhannahu wa Ta'ala ,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’: 59)
“Tentang sesuatu apa pun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itu Allah Tuhanku. Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (Asy-Syura: 10)
“Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” (Ali ‘Imran: 31)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman, hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa kebera-tan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65).
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang semakna dengan ini. Itu semua merupakan nash yang mewajibkan agar masalah-masalah yang diperselisihkan tersebut dikembalikan kepada Al-Qur’an dan hadits.
Mengenai malam Nisfu Sya’ban, Ibnu Rajab dalam kitabnya, Latha’iful Ma’arif mengatakan, “Para tabi’in dari ahli Syam (sekarang Syria, pen) seperti: Khalid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin Amir dan lain-lainnya, pernah mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam Nisfu Sya’ban, kemudian orang-orang berikutnya mengambil keutamaan dan pengagungan itu dari mereka. Dikatakan pula, bahwa mereka melaku-kan perbuatan demikian karena adanya cerita-cerita Israiliyat (cerita-cerita Bani Israil). Ulama’ ahli Syam pun juga berbeda pendapat di dalam bentuk pelaksanaannya. Ada dua pendapat:
Pertama, dianjurkan menghidupkan malam ini dengan berjama’ah di masjid-masjid. Khalid bin Ma’dan, Luqman bin Amir dan lainnya pada malam ini biasanya mengenakan pakaian yang paling baik, memakai wewangian dan celak, serta mereka bangun malam melakukan shalat di masjid. Ini disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih. Menurutnya, shalat malam secara berjama’ah tidak bid’ah. Hal ini dinukil oleh Harb Al-Karmani dalam kitabnya, Masa’il.
Kedua, adalah makruh berkumpul pada malam ini di masjid untuk shalat, bercerita dan berdoa. Tetapi boleh, jika menjalankan shalat secara sendirian. Ini pendapat Al-Auza’i, seorang imam, ahli fiqih dan ulama’ ahli Syam. Insya Allah pendapat inilah yang lebih mendekati kebenaran. Sedangkan Imam Ahmad tidak diketahui bahwa beliau mempunyai pendapat khusus berkenaan dengan malam Nisfu Sya’ban.
Adapun pendapat Imam Al-Auza’i tentang istihab (dianjurkannya) shalat pada malam itu secara individu, sebagaimana pendapat ini menjadi pilihan Al-Hafizh Ibnu Rajab, maka hal itu adalah aneh dan lemah. Karena segala perbuatan, bila tidak ada dalil syar’i yang menetapkan pensyari’atan-nya, maka tidak boleh bagi seorang muslim mengada-adakannya di dalam Islam, baik itu dikerjakan secara individu ataupun kolektif (berjama’ah), secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Berdasarkan keumuman sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ,
“Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka (perbuatan) itu tertolak”.
Dan dalil-dalil lainnya yang meng-ingkari perbuatan bid’ah dan memperi-ngatkan agar dijauhi.
Imam Abu Bakar Ath-Thurthusyi Rahimahullaah dalam kitab-nya, Al-Hawadits wal Bida’ mengatakan, “Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah dari Zaid bin Aslam, katanya, ‘Kami tidak menjumpai seorang pun dari guru dan ahli fiqh kami yang memperhatikan malam Nisfu Sya’ban, ataupun mengindahkan hadits Makhul. Mereka pun tidak memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam-malam lainnya. Dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah bahwa Zaid An-Numari menyatakan, ‘Pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam Nisfu Sya’ban menyamai pahala Lailatul Qadar.’ Ia pun berkata, “Seandainya saya men-dengarnya sedang di tangan saya ada tongkat pasti saya pukul. Zaid adalah seorang pendongeng.”
Al-‘Allamah Asy-Syaukani Rahimahullaah dalam kitab Al-Fawa’id Al-Majmu’ah menyatakan bahwa hadits,
“Wahai Ali, barangsiapa melakukan shalat pada malam Nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat, pada setiap rakaat ia membaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlash sebanyak 10 kali, pasti Allah memenuhi segala hajatnya …dst.”
Hadits ini adalah maudhu’ (palsu). Lafazh-nya yang menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelaku-nya, tidak diragukan lagi kelemahan-nya, bagi orang yang berakal. Sanadnya pun majhul (tidak dikenal). Telah diriwayatkan dari jalan ke dua dan ke tiga, tetapi kesemuanya maudhu’ dan para periwayatnya adalah orang-orang yang tidak dikenal.”
Di dalam kitab Al-Mukhtashar, Asy-Syaukani menyatakan, “Hadits yang menerangkan shalat Nisfu Sya’ban adalah bathil. Sedangkan hadits,
“Jika datang malam Nisfu Sya’ban, maka bershalatlah pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya”.Yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Ali adalah dha’if.”
Di dalam kitab Al-La’ali, dinyatakan bahwa hadits “Seratus rakaat pada malam Nisfu Sya’ban dengan ikhlas pahalanya sepuluh kali lipat”, yang diriwayatkan Ad-Dailami, adalah maudhu’ dan mayoritas perawinya pada ketiga jalan hadits ini adalah orang-orang yang majhul dan dha’if. Kata Imam Asy-Syaukani, “Hadits yang menerang-kan bahwa dua belas rakaat dengan ikhlas pahalanya tiga puluh kali lipat, dan hadits empat belas rakaat…dst adalah maudhu’.”
Shalat pada malam Nisfu Sya’ban ini telah diriwayatkan dengan berbagai cara dan banyak jalan, kesemuanya bathil dan maudhu’. Al-Hafizh Al-Iraqi mengatakan, “Hadits yang menerang-kan tentang Nisfu Sya’ban adalah maudhu’ (palsu) dan pendustaan atas diri Rasulullah n.”
Di dalam kitab Al-Majmu’, Imam An-Nawawi Asy Syafi’i menyatakan, “Shalat yang dikenal dengan Ragha’ib yang berjumlah dua belas rakaat dan dikerjakan antara Maghrib dan Isya’ pada Malam Jum’at pertama Bulan Rajab, serta shalat malam Nisfu Sya’ban yang berjumlah seratus rakaat, adalah bid’ah yang mungkar, tak boleh seseorang terperdaya hanya karena kedua shalat ini disebutkan dalam kitab Quutul Qulub dan Ihya’ Ulumiddin, atau karena berdasarkan hadits yang disebutkan dalam kedua kitab ini.
Cukuplah bagi pencari kebenaran dalam masalah ini, juga masalah lainnya, firman Allah Subhannahu wa Ta'ala
"Pada hari ini tlah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukup-kan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu sebagai agama bagimu.” (Al-Ma’idah: 3)
Dan ayat-ayat lain serta hadits-hadits yang senada maknanya, seperti sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ,
“Barangsiapa mengada-adakan (sesuatu hal baru) dalam urusan (agama) kami, yang bukan merupakan ajaran-nya, maka akan ditolak.”
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
“Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka (perbuatan) itu tertolak”.
Dari Jabir Radhiallaahu anhu katanya, “Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dalam khutbah Jum’at pernah bersabda,
“Adapun sesudahnya, sungguh, sebaik-baik perkataan ialah kitab Allah (Al-Qur’an), sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad, dan seburuk-buruk perkara (dalam agama) ialah yang diada-adakan (bid’ah), sedang setiap bid’ah itu kesesatan”.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu , Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
“Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at dari-pada malam-malam lainnya dengan shalat, dan janganlah kalian mengkhususkan siang harinya daripada hari-hari lainnya dengan puasa, kecuali jika dalam puasa yang mesti (biasa) dilakukan oleh seseorang di antara kalian”
Tatkala Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam melarang pengkhususan shalat pada malam Jum’at daripada malam lainnya, hal itu menunjukkan bahwa pada malam lain lebih tidak boleh dikhususkan dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shahih yang menunjukkan pengkhususan, seperti malam Lailatul Qadar dan malam-malam Bulan Ramadhan.
Andaikata malam Nisfu Sya’ban diperintahkan untuk dikhususkan dengan cara atau ibadah tertentu, pastilah Nabi Shalallaahu alaihi wasalam memberikan petunjuk kepada umatnya atau beliau sendiri mengerjakannya. Dan jika hal itu memang pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para sahabat kepada kita, mereka tidak akan menyembunyi-kannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan yang paling tulus setelah para nabi.
Kepada Allah jualah kita memohon, semoga melimpahkan taufik-Nya kepada kita dan kaum muslimin semua untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menetapinya, serta mewaspadai hal-hal yang bertentangan dengannya. Sungguh, Dia Maha Mulia dan Maha Pemberi. Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam , kepada keluarga dan para sahabatnya.
(Dari buku “At-Tahdzir Minal Bida” Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.)
0 Komentar
Admin berhak sepenuhnya menyaring komentar yang akan ditampilkan. Berkomentarlah secara bijak dan cerdas.