Pengalaman Pertama Menjadi Khatib Jumat

9/12/2019

Setelah hampir dua bulan berada di tanah kelahiran pasca merantau dari tanah Jawa, aku banyak mengenal teman-teman baru, suasana baru, bahkan lingkungan yang baru. Padahal baru saja 4 tahun kota ini ku tinggalkan, sudah banyak sekali yang berubah, ada beberapa hal yang harus ku pelajari supaya bisa kembali beradaptasi.

Baru saja tiga hari mendarat di sini, aku sudah dipanggil oleh beberapa orang yang ku anggap senior, mereka meminta bantuanku, bahkan tak tanggung-tanggung mereka memberiku amanah kepercayaan yang sangat besar. Aku legowo aja sih, rasanya senang karena kepulanganku disambut dengan hangat oleh mereka, bak pasukan perang Badr yang disambut dengan gegap gempita oleh penduduk Madinah wkwk, undangan kopdar pun bermunculan di inbox wa-ku, sebenarnya aku ingin sekali menolak, sebab lokasi pertemuannya sangatlah tidak ramah dompet, tapi alhamdulillah sebagian besar aku ditraktir oleh yang mengundang. hahah dasar aku :')


Selagi jadwalku belum terlalu padat dengan pekerjaan, aku akan berusaha membantu. Mulai dari mengisi jadwal binaan rohis sekolah, membantu kepengurusan mesjid, kepanitiaan, mengisi acara yang selalu saja ada di setiap Sabtu-Minggu, dan yang paling ga masuk akal aku diamanahi untuk mengisi khutbah jumat.

Deg! Yang bener aja, gue bukan tamatan pondok pesantren, jejak pendidikan pun full dari SD sampai kuliah di ranah pendidikan sekuler, bukan sekolah berbasis agama. Masa iya disuruh jadi khatib jumat? Awalnya aku sempat menolak ajakan itu, yang kebetulan diajak oleh seorang ustadz dan  juga pengurus MUI di kotaku. Tapi semakin membuat alasan, beliau pun semakin lihai menyangkal celahku. Karena sudah kehabisan akal, aku pun berkata "saya aja kalo dengerin khutbah sering ngantuk tadz, mana mungkin cocok jadi khatib." Seketika itu juga beliau langsung menyanggah "jangankan antum, ana dan ustadz-ustadz yang lain pun juga begitu. Makanya jadi khatib biar ga ngantuk pas jumatan." Wkwkwk. Berdebat dengannya memang bukan tandinganku, beliau salah seorang pakar ilmu retorika, yang jam terbangnya jauh lebih tinggi,

Mau tak mau aku menerima ajakan itu, ya kalo dipikir-pikir lagi, ada untungnya juga sih, selain potensial pahala, aku bisa mendapatkan pengalaman baru, ilmu baru, dan tentunya jadi cermin sekaligus batu loncatan terhadap diri sendiri agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi, Bukankah inti khutbah jumat adalah ajakan ketaqwaan? Bagaimana etikanya kalo mengajak sedangkan diri sendiri masih jauh dari apa yang disampaikan?

Besoknya aku langsung diberi daurah singkat tentang tata cara menjadi khatib. Mulai dari etika, penampilan, fiqih jumat, bacaan-bacaan khutbah, dll. Aku baru tau, kalo di lingkungan NU khatib akan lebih dihargai jika sarungan, kalo di Muhammadiyah biasanya memakai jas, kalo di lingkungan Jamaah Tabligh dan konservatif islam lainnya sering pake jubah, bila perlu bersorban. Bahkan di lingkungan salafi sekalipun, kita harus memperhatikan ukuran celana supaya tetap di atas mata kaki. Ternyata begitu ya. Ku kira pakaian bukanlah hal yang terlalu urgent untuk disoal para jamaah, toh aku juga kalo jumatan sering ngantuk dan ga merhatiin penampilan khatibnya hahah *jangan ditiru :')

Bahkan tata cara khutbah pun juga harus dipelajari, bacaannya bisa saja berbeda, bahkan dalam redaksi shalawat sekalipun. Ustadz pemateri daurah pernah bercerita tentang pengalamannya khutbah di suatu mesjid, yang ternyata redaksi shalawatnya berbeda dari biasanya. Setelah selesai jumatan, para jamaah mengulang shalat jumat untuk yang kedua kalinya karena shalat yang pertama dianggap tidak sah akibat bacaan shalawatnya beda, Allahuu ternyata sampai segitunya :') Selain itu aku juga diberi tahu mesjid-mesjid yang berafiliasi dengan jamaah atau kelompok tertentu, bahkan mesjidnya orang Syiah, Ahmadiyah, LDII, dll. Supaya kalo nanti dapat penugasan khutbah sudah bisa memetakan dan menyesuaikan dengan jamaahnya. Oh iya, di kotaku semua tema materi khutbah jumat terpusat di PMD (Persatuan Mubaligh Dumai) di bawah naungan Depag-MUI dan terjadwal.

Untung saja, aku dapat jadwal khutbah perdana di salah satu mesjid Muhammadiyah, yang hanya adzan sekali dan ga terlalu mensyaratkan ketentuan yang ribet-ribet. Apalagi jujur aja aku ini ga terlalu berbakat dalam dunia persarungan. Soalnya trauma dulu pernah shalat magrib pake sarung, pas bangkit rukuk di rakaat pertama sarungnya langsung melorot. Ya Allah betapa malunya kalo diinget, shaf paling depan pula wwkwkwkk :')

Hari jumat pun tiba, lokasi mesjidnya tidak sulit dijangkau. Karena letaknya tidak terlalu jauh dari rumah dan aku pun masih hafal rute perjalanan ke sana. Jreng-jreng! Ketika naik ke atas mimbar, nerveous parah. Meski sudah biasa berbicara di depan orang banyak, tapi suasananya sangat jauh berbeda. Ini bukan pembicaraan santai yang audiensnya bisa diajak senyum, ketawa, berdiri, bergerak dengan gerakan tertentu. Ini adalah salah satu rukun ibadah wajib lelaki muslim, yang kalo tata caranya salah dan tidak sempurna, bisa membatalkan :') bahkan pas lagi nyampaikan khutbah, kakiku brgetar parah seperti orang yang baru pertama kali belajar berbicara di depan umum. Untung aja ketutup sama podium mimbar sehingga tidak keliatan jamaah wwkwk :')

Ilustrasi shalat jumat.


Alhamdulillah, khutbah perdana berjalan dengan lancar, tema yang dibawa saat itu mengenai "Menerapkan hijrah Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari," dari estimasi penyampaian materi 15 menit, aku menyampaikannya selama 20 menit wkwk. Sempat ada beberapa pengucapanku yang sedikit keseleo, karena faktor grogi yang teramat sangat parah wwkwk. Setelah selesai jumatan, ada seorang bapak menghampiriku, setelah memperkenalkan diri dan kami saling bertukar informasi pribadi, beliau langsung bertanya "dek belum nikah kan? Mau main-main ke rumah saya ga? Di rumah saya ada dua anak masih gadis."

Deg! Pertanyaan macam apa itu? Sangat menguji keimanan sekali :'D Apa seperti ini cobaan seorang khatib yang masih jomblo? wkwk :') tapi aku dengan terpaksa harus menolak ajakan si bapak karena ada agenda lain yang harus diurus dengan segera. Yah pak, coba kalo waktu saya lagi kosong, mungkin bisa aja pak wkwkwkkwkw. Tapi sang bapak bilang gini, "yaudah gapapa, kapan-kapan main aja ke sini ya. Saya pengurus mesjid juga."

Nano-nano sekali rasanya wkwkwk.

Oke deh, sekian dulu untuk cerita kali ini, terima kasih telah membaca sampai habis hehe. Assalamu'alaykum :)

You Might Also Like

2 Komentar

  1. Aku kira sblm baca ini, khatib jumat harus yang udah nikah. Ternyata emang ga ada ketentuannya hahah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang blm nikah juga boleh haha. Syarat wajibnya cuma laki-laki muslim, baligh, suci dari hadast, menutup aurat, hafal rukun khutbah.

      Delete

Admin berhak sepenuhnya menyaring komentar yang akan ditampilkan. Berkomentarlah secara bijak dan cerdas.

Follow Me