Jenis-Jenis Aksara di Indonesia

10/18/2018


Aksara Nusantara merupakan beragam aksara atau tulisan yang lazim digunakan di Indonesia, secara khusus menuliskan bahasa daerah tertentu, walaupun abjad Arab dan alfabet Latin juga seringkali digunakan dalam menuliskan bahasa daerah. Istilah Aksara Nusantara kerap dikaitkan dengan aksara hasil inkulturisasi kebudayaan India sebelum berkembangnya Islam dan sebelum zaman kolonialisasi di Indonesia.

Berbagai macam media tulis dan alat tulis digunakan untuk menuliskan Aksara Nusantara, dari prasasti yang terbuat dari batu, kayu, tanduk hewan, lempengan emas, perak, tembaga serta perunggu dengan terlebih dahulu dipahat, hingga dalam bentuk naskah baik menggukan media daun lontar, nipah, janur kelapa, bilah bambu dan lainnya.

Bukti tertua mengenai keberadaan Aksara Nusantara yaitu berupa tujuh buah yupa (tiang batu untuk menambatkan tali pengikat sapi) yang bertuliskan prasasti mengenai upacara waprakeswara yang diadakan oleh Mulawarman, Raja Kutai di daerah Kalimantan Timur. Tulisan pada yupa-yupa tersebut menggunakan Aksara Pallawa dan Bahasa Sanskerta. Berdasarkan tinjauan pada bentuk huruf Aksara Pallawa pada yupa, para ahli menyimpulkan bahwa yupa-yupa tersebut dibuat pada sekitar abad ke-4.

Setelah berabad-abad berlalu, Indonesia memiliki ratusan bahasa dan aksara yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Berikut ini adalah 5 ragam Aksara Nusantara dari ratusan aksara Nusantara yang masih dapat ditemukan hingga saat ini.

 
Aksara Jawa
(Aksara Jawa)


Aksara Jawa

Tulisan Jawa dan Bali merupakan perkembangan modern dari aksara Kawi, salah satu turunan aksara Brahmi yang berkembang di Jawa. Pada masa periode Hindu-Buddha, aksara tersebut digunakan dalam literatur keagamaan dan terjemahan Sanskerta yang ditulis di atas daun lontar. Selama periode Hindu Buddha, bentuk aksara Kawi berangsur-angsur menjadi lebih Jawa, namun dengan ejaan yang tetap. Aksara Jawa, yang dikenal juga sebagai Hanacaraka dan Carakan , adalah aksara tradisional Nusantara yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa dan sejumlah bahasa daerah Indonesia lainnya, seperti bahasa Sunda dan bahasa Sasak. Tulisan ini berkerabat dekat dengan aksara Bali. Carakan lebih sering digunakan oleh penulis dalam lingkungan keraton kerajaan, seperti Surakarta dan Yogyakarta, untuk menulis naskah, antara lain cerita-cerita (serat), catatan sejarah (babad), tembang kuno (kakawin), atau ramalan (primbon). Naskah umum dihias dan jarang ada yang benar-benar polos. Hiasan dapat berupa tanda baca yang sedikit dilebih-lebihkan atau pigura halaman (wadana) yang rumit dan beraneka warna.


Aksara Bali
(Aksara Bali)


Aksara Bali

Aksara Bali adalah salah satu aksara tradisional Nusantara yang berkembang di Bali, Indonesia. Aksara ini umum digunakan untuk menulis bahasa Bali dan Sanskerta. Dengan sedikit perubahan, aksara ini juga digunakan untuk menulis bahasa Sasak yang digunakan di Lombok. Aksara ini berkerabat dekat dengan dengan aksara Jawa. Saat ini, aksara Bali masih diajarkan di sekolah sekolah Bali sebagai muatan lokal, namun penggunaannya terbatas pada lingkup yang sempit. Aksara Bali memiliki 47 huruf. Aksara Bali juga dapat digunakan untuk menulis Sanskerta dan Kawi, namun tetap dibaca dengan ejaan Bali.





x

Aksara Batak

Aksara Batak
(Aksara Batak)
Aksara Batak atau yang dikenal dengan nama Surat Batak adalah aksara yang digunakan untuk menuliskan bahasa-bahasa Batak, yaitu bahasa Angkola-Mandailing, Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, dan Toba. Aksara ini memiliki beberapa varian bentuk, tergantung bahasa dan wilayah. Secara garis besar, ada lima varian Surat Batak di Sumatra, yaitu Angkola-Mandailing, Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, dan Toba. Aksara ini wajib diketahui oleh para datu, yaitu orang yang dihormati oleh masyarakat Batak karena menguasai ilmu sihir, ramal, dan penanggalan. Kini, Surat Batak masih dapat ditemui dalam berbagai pustaha, yaitu kitab tradisional masyarakat Batak.


Aksara Lampung
(Aksara Lampung)


Aksara Lampung

Aksara Lampung memiliki hubungan dengan aksara Pallawa dari India Selatan. Jenis tulisannya fonetik bersuku kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam huruf Arab, dengan menggunakan tanda-tanda fathah pada baris atas dan tanda-tanda kasrah pada baris bawah, tetapi tidak menggunakan tanda dammah pada baris depan, melainkan menggunakan tanda di belakang, di mana masing-masing tanda mempunyai nama tersendiri. Konon, dulunya gadis-gadis asli Lampung memiliki kemampuan memikat lawan jenisnya dengan mantra-mantra pengasih yang dituliskan di atas media kulit kayu.

Aksara Lampung juga digunakan untuk menulis surat, hukum, surat resmi untuk mengesahkan hak kepemilikan tanah tradisional, mantra, sihir, guna-guna, cara sesajian, petuah-petuah, syarat menjadi pemimpin, obat-obatan, hingga syair mistik Islam. Ada pula syair percintaan, yang dikenal sebagai bandung atau hiwang. Media penulisan selain kulit kayu, juga menggunakan bilah bambu, daun lontar, dalung (kepingan logam), kulit hewan, tanduk kerbau, dan batu. Syair percintaan yang berbentuk dialog ditulis pada keping atau lembar bambu—disebut gelumpai—diikat jadi satu dengan tali melalui lubang di ujung satu serta diberi nomor berdasarkan urutan abjad. Ada pula yang menorehkannya pada tabung bambu dan kulit kayu berlipat.



Aksara Lontara
(Aksara Lontara)


Aksara Lontara

Lontara adalah aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar. Bentuk aksara lontara menurut budayawan Profesor Mattulada berasal dari "sulapa eppa wala suji". Wala suji berasal dari kata wala yang artinya pemisah/pagar/penjaga dan suji yang berarti putri. Wala suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sedangkan sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin tanah. Huruf lontara ini pada umumnya dipakai untuk menulis tata aturan pemerintahan dan kemasyarakatan. Naskah ditulis pada daun lontar menggunakan lidi atau kalam yang terbuat dari ijuk kasar.

Lontara adalah perkembangan dari tulisan Kawi yang digunakan di kepulauan Nusantara sekitar tahun 800-an. Namun, tidak diketahui apakah Lontara merupakan turunan langsung dari Kawi atau dari kerabat Kawi lain karena kurangnya bukti. Terdapat teori yang menyatakan bahwa tulisan Lontara didasarkan pada tulisan Rejang, Sumatra Selatan, karena adanya kesamaan grafis di antara dua tulisan tersebut. Namun, hal ini tidak berdasar karena beberapa huruf Lontara merupakan perkembangan yang berumur lebih muda.

Hingga kini, Indonesia tercatat memiliki 746 bahasa dengan aksara yang sangat beragam. Jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan penelitian yang terus dilakukan. Kekayaan bahasa dan aksara di tanah air diharapkan tidak sekedar dilihat sebagai jumlah yang menakjubkan, namun juga pengingat bagi kita untuk terus mencintai dan melestarikan kebudayaan Indonesia, lebih-lebih di zaman seperti sekarang ini.

You Might Also Like

0 Komentar

Admin berhak sepenuhnya menyaring komentar yang akan ditampilkan. Berkomentarlah secara bijak dan cerdas.

Follow Me