Broken Home
1/16/2015Heningnya malam yang kian larut.
Hawa dingin yang kian menggigit.
Senyap, pada sepi yang menelikung hati.
Sendiri, dalam gelap.
Terus menarikan jemari di atas keyboard laptop.
Sendiri, ku di sini.
Di ruang yang dahulu pernah menorehkan prasasti sejarah untukku,
kucoba kembali susun kepingan hati yang terserak,
menyusunnya dengan penuh kehati-hatian agar tak ada celah setan menyusup.
Diam, aku belajar tafakuri.
Derap rapat-rapat hati dengan dzikir agar tak ada tangis kesia-siaan.
Perlahan, ku obati luka atas goresan yang tersayat dalam hati, mengusapnya lembut, dengan sentuhan lantunan dzikir yang mulai terasa getarnya.
Bismillah…
Menjalani hidup sebagai anak korban broken home, tentunya kita tau seperti apa rasanya … tapi bukan ini yang akan aku paparkan dalam tulisan sederhanaku.
Ku sadari, bukan hal mudah menjalani peran sebagai anak korban broken home. Hingga kemudian, saat kaki ini mulai terasa lelah menapak alur skenario hidup, dalam pemberhentianku di antara terik untuk sejenak mengusap peluh, aku belajar menatap titah hidupku dari perspektif lain, pada sudut pandang yang nampak terang, tanpa bayang kabut yang menghijabi kebeningan hati.
Meskipun,
Broken home menjadikan aku pincang, buta dan tuli tanpa kesempurnaan keluarga.
Tapi…
Broken home mengajariku, tentang bagaimana aku harus me manage konsep ikhlas dalam penerimaan terhadap titahNya. Menerima kehilangan sebagai bentuk proses penempaanku untuk belajar mandiri menghadapi dinamika hidup, tidak terlalu bergantung pada sosok seorang ayah ataupun ibu. Broken home menuntunku untuk semakin mendekat dengan ruang kesabaran dan membuka kesadaranku bahwa keluh tidaklah mampu meringankan beban yang menindih pundak. Hanya dengan mendekat, bercakap dan memohon pada-Nya kedamaian hati itu aku dapat.
Broken home… menjadi penyemangat dalam kesungguhanku menggapai mimpi, terus menanamkan sugesti bahwa kesuksesan tak kan mampu aku genggam tanpa kesungguhan dan tak pernah membiarkan kesemangatan ini meredup, terus menyala dalam pengharapan akan masa depan yang lebih baik.
Broken home menjadi cambuk pelecut, atas pemetaan masa depanku tentang bagaimana aku harus mulai mempersiapkan diri agar kelak keluargaku tak terurai seperti kedua orang tuaku. Menuntunku untuk senantiasa berbenah menjadi manusia berkualitas agar kelak menjadi seorang ayah shaleh yang mampu mendidik anak-anakku dengan cinta dan berjalan seiring dengan istri membentuk keluarga harmonis yang dekat dengan Rabbnya.
Broken home memproteksi hatiku, mematikan rasa agar senantiasa terjaga kesuciannya, tak tersentuh oleh sosok yang tak semestinya dan menanggalkan pengharapan dalam penantian yang keliru. Karena hanya Allah, Allah sang pemilik hati. Dia yang akan menentukan pada siapa esok hati ini akan tertaut membentuk ikatan suci.
Menjadi anak korban broken home karena Allah mencintaiku lebih dari yang lain, Allah menginginkan aku tumbuh menjadi individu tangguh yang senantiasa dekat denganNya.
Menjadi anak korban broken home? Kenapa harus menangis (lagi)??!
Syukuri apa yang ada, Hidup adalah anugrah
Tetap jalani hidup ini melakukan yang terbaik
Tuhan pasti kan menunjukkan kebesaran dan kuasaNya
Bagi hambaNya yang SABAR dan TAK KENAL PUTUS ASA
Jangan menyerah Jangan menyerah Jangan menyerah
(d’masiv)
2 Komentar
Ini.. real story? :(
ReplyDeleteIya hehe
DeleteAdmin berhak sepenuhnya menyaring komentar yang akan ditampilkan. Berkomentarlah secara bijak dan cerdas.